Selasa, 23 Oktober 2012

ANALISIS CUKA METODE ALKALIMETRI


Analisa Kuantitatif adalah analisa yang berkaitan dengan berapa banyak suatu zat tertentu yang terkandung dalam suatu sample. Zat yang ditetapkan tersebut yang sering kali dinyatakan sebagai konstituen atau analit, menyusun entah sebagian kecil atau besar sample yang dianalisis (Underwood, 1999).
Analisa kuantitatif merupakan pemisahan suatu materi menjadi partikel-partikel. Fungsinya yaitu untuk menetapkan berapa banyak unsur atau zat yang ada dalam senyawa campuran. Jika zat yang dianalisa tersebu tmenyusun lebih dari sekitar 1% dari sampel maka analisis ini dianggap konstituen utama zat itu. Hal itu dapat dikatakan konstituen minor suatu zat jumlah berkisar 0,01% sampai 1% dari sampel terakhir, serta apabila dikatakan konstituen trace jika suatu zat ada yang kurang dari 0,01% (Irfan, 2000 ).

   Titrasi
            Titrasi asam – basa adalah titrasi dimana reaksi antara titrat dan titrannya merupakan reaksi asam – basa. Alkalimetri adalah penetapan kadar secara kuantitatif terhadap senyawa yang bersifat asam dengan menggunakan standar senyawa basa.
            Asidi-alkalimetri merupakan salah satu metode kimia analisa kuantitatif yang didasarkan pada prinsip titrasi asam-basa. Asidi-alkalimetri berfungsi untuk menentukan kadar asam-basa dalam suatu larutan secara analisa volumetri. Titik akhir dari titrasi ini mudah dilihat dengan penambahan indikator yang sesuai. Percobaan ini dilakukan untuk menentukan kadar asam Cuka (CH3COOH) dengan titrasi Asidi-Alkalimetri. Sampai pH asam cuka berubah menjadi larutan basa, untuk ditentukan kadarnya.
            Salah satu dari empat golongan utama dalam penggolongan analisis titrimetri adalah reaksi penetralan atau asidimetri dan alkalimetri. Asidi dan alkalimetri ini melibatkan titrasi basa yang terbentuk karena hidrolisis garam yang berasal dari asam lemah (basa bebas) dengan suatu asam standar (asidimetri), dan titrasi asam yang terbentuk dari hidrolisis garam yang berasal dari basa lemah (asam bebas) dengan suatu basa standar (alkalimetri). Bersenyawanya ion hidrogen dan ion hidroksida untuk membentuk air merupakan akibat reaksi-reaksi tersebut (Basset, J, 1994).
 

          Asam asetat, asam etanoat atau asam cuka[2] adalah senyawa kimia asam organik yang dikenal sebagai pemberi rasa asam dan aroma dalam makanan. Asam cuka memiliki rumus empiris C2H4O2. Rumus ini seringkali ditulis dalam bentuk CH3-COOH, CH3COOH, atau CH3CO2H. Asam asetat murni (disebut asam asetat glasial) adalah cairan higroskopis tak berwarna, dan memiliki titik beku 16.7°C.








TUJUAN
Praktikan mampu menetapkan kadar CH3COOH (asam asetat) dan asam cuka (HCl) menggunakan prinsip reaksi asam-basa.
Alat dan Bahan
Alat :
Neraca teknis dan analitik
Gelas arloji 1 buah
Pipet volum5 dan 10 ml 1 buah
Buret 25 ml 1 buah
Statif dan klem 1 buah
Corong gelas 2 buah (besar dan kecil)
Labu takar
Propipet 1 buah
Beker glass 200ml 1 buah
Pipet tetes 1 buah
Botol semprot 1 buah
Erlenmeyer 250 ml 3 buah

Bahan :
Aquades secukupnya
Sampel CH3COOH (asam asetat)
H2C2O4.2H2O (asam oksalat)
Sampel asam cuka
NaOH (natrium hidroksida)
Indicator PP (phenol phtalein) 1%

Prosedur kerja :
Standarisasi larutan NaOH

Adapun cara membuat larutan NaOH 0,1 N dengan cara : menimbang 1 gr NaOH dan larutkan dengan aquadest dalam beacker glass (diaduk-aduk sampai homogen). Larutan kemudian dimasukan ke dalam labu ukur 250 ml, tambahkan aquades sampai batas dan dikocok sampai homogen.
Larutan NaOH 0,1 N tersebut dimasukan ke dalam buret 25 ml sampai titik nol.
Sampel
Memipet sebanyak 10 ml sampel, masukan ke dalam Erlenmeyer, tambahkan indicator PP 1 % sebanyak 3 tetes dan dititrasi dengan larutan NaOH sampai terjadi perubahan warna dari tidak berwarna menjadi merah muda.
ulangi sebanyak 3 kali.
Mencatat informasi yang di dapat.


Reaksi yang Terjadi
CH3COOH + NaOH ----> CH3COONa + H2O 



 
Perhitungan kadar Asam asetat:
Kadar asam asetat = ml x N NaOH~60,05 x pengenceran x 100% / ml sampel x 1000
  
DAFTAR PUSTAKA
Day,RA.,Uderwood A.L…1980.analisa kimia kuntitatif edisi keempat. erlangga: Jakarta.
Sya’bani,M.W.2009.Buku Petunjuk Pratikum Kimia Analisis. Akademi Teknoloi Kulit: Yogyakarta.
Titrasi.www.google.com diakses tanggal 13 maret 2010

Sabtu, 20 Oktober 2012

ANALISIS BAHAN PENGAWET METODE KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS


Pada dasarnya bahan tambahan dapat dibagi menjadi dua bagian besar, yaitu :
a.     Aditif sengaja, yaitu aditif yang diberikan dengan sengaja dengan maksud tertentu, misalnya untuk meningkatkan konsistensi, nilai gizi, cita rasa, mengendalikan keasaman atau kebasaan, memantapkan bentuk dan rupa, dan lain sebagainya.
b.     Aditif tidak sengaja, yaitu aditif yang terdapat dalam makanan dalam jumlah sangat kecil sebagai akibat dari proses pengolahan.
Berdasarkan fungsinya bahan tambahan makanan dapat digolongkan antara lain antioksidan, pengatur keasaman, pemanis buatan, pemutih dan pematang, pengawet, penyedap rasa dan aroma, penguat rasa, pewarna dan lain-lain (Winarno, 1984).


            Zat pengawet ialah bahan kimia yang berfungsi untuk membantu, mempertahankan bahan makanan dari serangan mikroba pembusuk, baik bakteri, ragi maupun jamur dengan cara menghambat, mencegah, menghentikan proses pembusukan, fermentasi, pengasaman atau kerusakan komponen lain dari bahan makanan. Aktifitas-aktifitas zat  pengawet tidak sama, misalnya ada yang efektif terhadap bakteri, ragi atau kapang. Zat pengawet terdiri dari senyawa organik dan senyawa anorganik (Winarno, 1983).
Zat pengawet organik lebih banyak dipakai daripada zat pengawet anorganik karena bahan ini mudah didapat. Bahan organik ini digunakan dalam bentuk asam maupun dalam bentuk garamnya. Bahan pengawet yang sering digunakan ialah asam asetat, asam benzoat, asam propionat, asam sorbat dan senyawa epoksida. Sedangkan zat pengawet anorganik yang sering digunakan adalah sulfit, nitrit dan nitrat (Buckle, 1987). Salah satu bahan pengawet yang sering digunakan dalam makanan adalah asam benzoat (C6H5COOH).
asam benzoat

            Syarat-syarat bahan pengawet diantaranya adalah harus bekerja menghambat dan mematikan mikroorganisme, tidak boleh merangsang rasa dan bau, stabil secara fisika dan kimia, dapat bekerja lama, tidak boleh mengurangi khasiat makanan, mudah didapat, bersifat efektif dalam jumlah kecil dan tidak boleh terurai dalam tubuh menjadi zat-zat yang lebih toksis daripada bahan pengawet murni.
            Setiap negara mempunyai peraturan masing-masing mengenai pemakaian zat pengawet pada makanan, minuman dan obat-obatan yang tujuannya melindungi produk dari hal-hal negatif yang dapat timbul dari pemakaian zat pengawet. Saat ini aturan zat pengawet di Indonesia diatur dalam peraturan Menteri Kesehatan Republik Indonesia Nomor 72/Menkes/Per/IX/88 Tahun 1988 tentang bahan tambahan makanan (Depkes RI, 1995).

Kromatografi lapis tipis digunakan secara luas untuk analisa kualitatif atau pemisahan campuran dalam jumlah yang kecil. Analisa ini bekerja berdasarkan pada distribusi fasa cair-padat. Sebagai fasa padat berupa lapisan tipis bubur alumina atau silica gel yang menempel pada permukaan selembar lempeng kaca, sedangkan sebagai fasa cairnya adalah eluen yang digunakan untuk membawa zat yang diperiksa bergerak melalui fasa padat.






ANALISIS BAHAN PENGAWET MENGGUNAKAN KROMATOGRAFI LAPIS TIPIS

 Kromatografi Lapis Tipis

    
Kromatografi adalah suatu nama yang diberikan untuk teknik pemisahan tertentu. Pada dasarnya semua cara kromatografi menggunakan dua fase yaitu suatu fase tetap (stationary) dan yang lain fase bergerak (mobile); pemisahanpemisahan tergantung pada gerakan relatif dari dua fase ini (Sastrohamidjojo, 1991). Diantara berbagai jenis teknik kromatografi, kromatogafi lapis tipis (KLT) adalah yang paling cocok untuk analisis obat di laboratorium farmasi (Stahl, 1985). Kromatografi Lapis Tipis dapat digunakan untuk memisahkan berbagai senyawa seperti ion-ion anorganik, kompleks senyawa-senyawa organik dengan anorganik, dan senyawa-senyawa organik baik yang terdapat di alam dansenyawa-senyawa organik sintetik. KLT merupakan kromatografi adsorbsi dan adsorben bertindak sebagai fase stasioner. Empat macam adsorbsi dan adsorben bertindak sebagai fase stasioner. Empat macam adsorben yang umum dipakai ialah silika gel (asam silikat), alumina (aluminium oxyde), kieselguhr (diatomeus earth) dan selulosa. Dari keempat jenis adsorben tersebut yang paling banyak dipakai ialah silika gel karena hampir semua senyawa zat dapat dipisahkan oleh jenis adsorben ini (Tabel 6) dan masing-masing terdiri dari beberapa jenis yang mempunyai nama perdagangan bermacam-macam (Adnan, 1997). Silika gel yang digunakan kebanyakan diberi pengikat (binder) yang dimaksud untuk memberikan kekuatan pada lapisan dan menambah adhesi pada gelas penyokong. Sifat-sifat umum dari penyerap-penyerap untuk kromatografi lapisan tipis adalah mirip dengan sifat-sifat penyerap untuk kromatografi kolom. Dua sifat yang penting dari penyerap adalah besar partikel dan homogenitasnya,
 arena adhesi terhadap penyokong sangat bergantung pada mereka (Sastrohamidjojo, 1991).

            Fase gerak ialah medium angkut dan terdiri atas satu atau beberapa
pelarut. Ia bergerak di dalam fase diam, yaitu suatu lapisan berpori, karena ada gaya kapiler (Stahl, 1985). Jika fase gerak dan fase diam telah dipilih dengan tepat, bercak cuplikan awal dipisahkan menjadi sederet bercak, masing-masing bercak diharapkan merupakan komponen tunggal dari campuran (Gritter, dkk, 1991). Memang agak sukar untuk menentukan sistem pelarut yang cocok untuk pengembangan. Pemilihan sistem pelarut yang dipakai didasarkan atas prinsip like dissolves like, tetapi akan lebih cepat dengan mengambil pengalaman para peneliti, yaitu dengan dasar pustaka yang sudah ada (Adnan, 1997). Perbedaan migrasi merupakan dasar pemisahan kromatografi, tanpa perbedaan dalam kecepatan migrasi dari 2 senyawa, tidak mungkin terjadi pemisahan (Sudjadi, 1986).
            Terdapat berbagai kemungkinan untuk deteksi senyawa dan warna pada kromatogram. Deteksi paling sederhana adalah jika senyawa menunjukkan penyerapan di daerah UV gelombang pendek (radiasi utama pada kira-kira 254 nm) atau jika senyawa itu dapat dieksitasi ke fluoresensi radiasi UV gelombang pendek dan atau gelombang panjang (365 nm) (Stahl, 1985).
            Identifikasi dari senyawa-senyawa yang terpisah pada lapisan tipis lebih baik dikerjakan dengan pereaksi lokasi kimia dan reaksi-reaksi warna. Tetapi lazimnya untuk identifikasi menggunakan harga Rf meskipun harga-harga Rf dalam lapisan tipis kurang tepat bila dibandingkan pada kromatografi kertas. Seperti halnya pada kromatografi kertas harga Rf didefinisikan sebagai
berikut:



Harga-harga Rf untuk senyawa-senyawa murni dapat dibandingkan
dengan harga-harga standar (Sastrohamidjojo, 1991).




DAFTAR PUSTAKA
1.      Elidahanum Husni et al.2007.Analisa Zat Pengawet dan Protein dalam Makanan Siap Saji Sosis. Jurnal Sains dan Teknologi Farmasi : Padang
2.      Siaka. 2009. Analisis Bahan Pengawet

ANALISIS PEWARNA METODE KROMATOGRAFI

Zat Pewarna
Menurut Winarno (1995), yang dimaksud dengan zat pewarna adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperbaiki warna makanan yang berubah atau menjadi pucat selama proses pengolahan atau untuk memberi warna pada makanan yang tidak berwarna agar kelihatan lebih menarik. Menurut PERMENKES RI No.722/Menkes/Per/IX/1988, zat pewarna adalah bahan tambahan makanan yang dapat memperbaiki atau member warna pada makanan.
contoh bahan pewarna

Berdasarkan sumbernya zat pewarna dibagi dalam dua golongan utama yaitu pewarna alami dan pewarna buatan.

1. Pewarna alami
pewarna alami dari sayur

pewarna dari bahan alami

Pada pewarna alami zat warna yang diperoleh berasal dari hewan dan tumbuh-tumbuhan seperti : caramel, coklat, daun suji, daun pandan, dan kunyit.
Jenis-jenis pewarna alami tersebut antara lain :
a. Klorofil, yaitu zat warna alami hijau yang umumnya terdapat pada daun, sehingga sering disebut zat warna hijau daun.
b. Mioglobulin dan hemoglobin, yaitu zat warna merah pada daging.
c. Karotenoid, yaitu kelompok pigmen yang berwarna kuning, orange, merah orange, yang terlarut dalam lipid, berasal dari hewan maupun tanaman antara lain, tomat, cabe merah, wortel.
d. Anthosiamin dan anthoxanthim. Warna pigmen anthosianin merah, biru violet biasanya terdapat pada bunga, buah-buahan dan sayur-sayuran.

2. Pewarna Buatan
contoh pewarna buatan

Di Negara maju, suatu zat pewarna buatan harus melalui perlakuan pemberian asam sulfat atau asam nitrat yang seringkali terkontaminasi oleh arsen atau logam berat lain yang bersifat racun. Pada pembuatan zat pewarna organik sebelum mencapai produk akhir, harus melalui suatu senyawa dulu yang kadang-kadang berbahaya dan seringkali tertinggal dalam hal akhir, atau terbentuk senyawa-senyawa baru yang berbahaya (Cahyadi, 2006).
Namun sering sekali terjadi penyalahgunaan pemakaian pewarna untuk sembarang bahan pangan, misalnya zat pewarna tekstil dan kulit untuk mewarnai bahan pangan. Bahan tambahan pangan yang ditemukan adalah pewarna yang berbahaya terhadap kesehatan seperti Amaran, Auramin, Methanyl Yellow, dan Rhodamin B. Jenis-jenis makanan jajanan yang ditemukan mengandung bahan-bahan berbahaya ini antara lain sirup, saus, bakpau, kue basah, pisang goring, tahu, kerupuk, es cendol, mie dan manisan (Yuliarti,2007).
Timbulnya penyalahgunaan bahan tersebut disebabkan karena ketidaktahuan masyarakat mengenai zat pewarna untuk pangan, dan juga disebabkan karena harga zat pewarna untuk industri lebih murah dibanding dengan harga zat pewarna untuk pangan (Seto,2001).

D. METODE
Metode yang digunakan dalam praktikum ini adalah metode Colorimetri. 

Prosedur yang dilakukan sebagai berikut :
a. Alat :
1. Gelas kimia
2. Pipet ukur + filler
3. Kruistang
4. Pinset
b. Bahan :
1. Bulu Domba
2. Sampel Pewarna
3. Larutan NH4OH 10 %
4. Larutan KHSO4 10 %
5. Kertas Lakmus

c. Cara Kerja :

1. Sampel pewarna pada makanan diambil sebanyak 50 ml dan dimasukkan kedalam gelas kimia,
2. Sampel ditambah 0,5 ml Larutan KHSO4 10 % sampai asam (cek dengan lakmus biru),
3. Larutan dipanaskan sampai mendidih,
4. Apabila telah mendidih bulu domba sebanyak 2 buah dimasukkan ke dalam larutan, dan pendidihan dilanjutkan selama 10 menit,
5. Setelah 10 menit, bulu domba diangkat dari larutan dan dicuci sampai bersih
6. Bulu domba yang telah dicuci dibagi dua bagian. Satu bagian ditetesi dengan larutan NH4OH 10 % sebanyak 2 ml sampai menjadi basa (cek dengan lakmus merah), satu bagian lagi sebagai kontrol.
7. Amati perubahan warna yang terjadi. Apabila lebih keruh dari kontrol maka pewarna tersebut adalah alami, namun apabila lebih terang dari kontrol pewarna tersebut adalah sintetis.
E. HASIL
Hasil dari pemeriksaan pewarna pada makanan yaitu warna bulu domba yang ditambah dengan larutan NH4OH lebih gelap/keruh dibanding kontrol (bulu domba yang tidak diberi perlakuan). Hal tersebut menunjukkan bahwa pewarna makanan yang diperiksa merupakan pewarna alami.
F. PEMBAHASAN
Penentuan mutu dan bahan makanan pada umumnya sangat bergantung pada beberapa faktor diantaranya cita rasa, warna, tekstur, dan nilai gizinya; diamping itu ada faktor lain, misalnya sifat mikrobiologis. Tetapi sebelum ada faktor-faktor lain dipertimbangkan, secara visual faktor warna tampil lebih dahulu dan kadang-kadang sangat menentukan. Suatu bahan yang dinilai bergizi, enak, dan teksturnya sangat baik tidak akan dimakan apabila memiliki warna yang tidak sedap dipandang atau member kesan menyimpang dari warna yang seharusnnya. Selain sebagai faktor yang ikut menentukan mutu, warna juga dapat digunakan sebagai indikator kesegaran atau kematangan. Baik tidaknya cara pencampuran atau cra pengolahan ditandai dengan adanya warna yang seragam dan merata (Winarno,1995).
Di indonesia tata cara atau undang- undang zat pewarna makanan belum ada. Sehingga cenderung terjadi penyalahgunaan dalamakaian zat pewarna. Misalnya, sering digunakan zat pewarna tanpa mencantumkan label dan merek. Sirup dengan warna yang mencolok dan indah, dikhawatirkan menggunakan zat pewarna tekstil dan pewarna kulit. Bila itu terjadi, sangat membahayakan kesehatan pemakainya, karena zat pewarna tekstil mengandung residu logam berat yang dapat merusak organ hati dan ginjal.  Oleh sebab itu, sedapat mungkin hindari mengkonsumsi bahan makanan yang mengandung zat warna sintetik. Untuk mencegah terjadinya gangguan kesehatan akibat penggunaan zat warna alami misalnya daun suji (pewarna hijau) atau zat sintetik yang dibeli di apotek/di toko tertentu yang telah disahkan oleh Depkes. RI.
Untuk mengetahui kandungan pewarna makanan baik atau tidak dapat dilakukan pemeriksaan dengan metode Colorimetri dengan menggunakan Indikator kertas Lakmus. Bahan yang digunakan yaitu bulu domba, karena bulu domba sangat mudah menyerap kandungan zat pewarna saat pendidihan. Dari pemeriksaan diperoleh data bahwa pewarna yang diperiksa mengandung pewarna alami.
Pemakaian zat pewarna pada makanan mempunyai aturan tersendiri yang diatur pada Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan nomor : 01415/b/sk/iv/91 tentang tanda khusus pewarna makanan. LPPOM MUI menyatakan, penggunaan pewarna sintetis yang tidak proporsional dapat menimbulkan masalah kesehatan. Namun penggunaan bahan pewarna alami pun jika tidak dilakukan secara hati-hati dapat menjurus kepada bahan yang haram atau subhat (tak jelas kehalalannya). Meski demikian, pilihan terbaik tentu saja tetap pewarna alami, karena tidak menimbulkan efek negatif pada tubuh. Perlu diingat kalau penggunaan bahan tambahan seperti pelapis pada pewarna harus dipilih dari bahan-bahan yang halal.
G.KESIMPULAN
Hasil yang diperoleh dari pemeriksaan pewarna pada makan yaitu pewarna makanan yang kami amati merupakan pewarna alami yang memiliki resiko rendah bagi kesehatan.

DAFTAR PUSTAKA
Anonim. 2010. Bahan Aktif Makanan Dan Pengaruhnya Bagi Kesehatan Manusia. http://www.wordpress.com. Diakses pada tanggal 26 Desember 2010.
Azwar, A. 1995. Pengantar Ilmu Kesehatan Lingkungan. Mutiara Sumber Widya, Jakarta.
Baliwati, dkk. 2004. Pengantar Pangan dan Gizi. Penebar Swadaya, Jakarta.
Cahyadi,W. 2006. Analisis dan Aspek Kesehatan Bahan Tambahan Pangan. Bumi Aksara, Jakarta.
Dirjen Pengawasan Obat dan Makanan. Keputusan Direktur Jenderal Pengawasan Obat dan Makanan Tentang Tanda Khusus Pewarna Makanan. http://www.pom.go.id. Diakses pada tanggal 26 Desember 2010.
Hardiansyah,dkk. 2001. Pengendalian Mutu dan Keamanan Pangan. Departemen Pendidikan Nasional, Jakarta.
Moehji, S. 1992. Penyelenggaraan Makanan Institusi dan Jasa Boga. Bhratara, Jakarta.